Wednesday, 8 December 2010
AARRGGGHHHHH MESSUP!!
Monday, 6 December 2010
How Buzzy X-mas Prepare

Marshmallow Eataholic



















Strawberry Marshmallow Recipe

You can make the strawberry puree by cooking fresh or frozen berries in a saucepan for about 10 minutes, then blending the soft berries in a blender or food processor. Note that marshmallows need to sit for at least 8-10 hours before cutting them, so it’s a good idea to make these the night before you plan to eat them.
Ingredients:
- 1-1/4 cups water, divided
- 1/2 cup strawberry puree
- 4 envelopes gelatin
- 3 cups sugar
- 1-1/4 cups light corn syrup
- 1/3 cup powdered sugar
- 1/3 cup cornstarch
Preparation:
1. Prepare a 9x13 pan by lining it with aluminum foil and spraying the foil liberally with nonstick cooking spray.
2. Place ½ cup of the water and the strawberry puree in the bowl of a large stand mixer. Sprinkle the gelatin on top and stir briefly to distribute. Let gelatin sit and dissolve for at least 5 minutes.
3. Place remaining ¾ cup of water, corn syrup, and sugar in a medium saucepan over medium-high heat. Stir to dissolve the sugar, and insert a candy thermometer.
4. Allow the mixture to cook without stirring until it reaches 240 degrees on the thermometer. Brush down the sides occasionally with a wet pastry brush to avoid crystallization. While the candy cooks, briefly run the mixer on low to ensure the gelatin and puree is well-mixed.
5. Once the candy reaches the proper temperature, remove it from the heat immediately. Turn the mixer to low, and slowly pour the hot syrup into the mixer bowl. Be careful, as the syrup is extremely hot. If you have a large (at least 3 cup) liquid measuring cup with a spout, you can transfer the hot syrup to the cup before pouring to make it easier.
6. Gradually increase the speed of the mixer until it running on high. Whip the marshmallow mixture for 10 minutes, or until it is stiff and shiny. You can tell it is done when you stop the mixer and lift up the beater, the marshmallow will slowly drip back down into the bowl in a thick, shiny stream.
7. Pour the marshmallow into the prepared pan and smooth the top. Allow it to sit and firm up at room temperature for at least 10 hours.
8. Sift the powdered sugar and cornstarch together. Cover your workstation with waxed paper to protect it, and liberally sprinkle the surface with the sugar/starch mixture. Sprinkle the top of the marshmallow with the sugar/starch coating, and flip the marshmallow face down onto the prepared surface.
9. Carefully peel back the foil from the marshmallow, and sprinkle the top of the marshmallow slab with the coating powder. Spray a large smooth-bladed knife with nonstick cooking spray, and coat both sides with the coating powder. Cut the marshmallow into squares, coating the knife blade with sugar/starch as needed. Roll the cut edges of the marshmallows in the coating mixture so that all sides are smooth and not sticky.
10. To save marshmallows, store them in a dry airtight container in a temperate, dry location. Do not refrigerate them or keep them in a very humid place. If they are stored longer than two or three days, you may need to re-roll them in coating. Fresh marshmallows go stale after about a week, so these are best eaten soon after they are made.
Thursday, 2 December 2010
A Queen of Manner 2
Wednesday, 1 December 2010
A Queen of Manner 1
Friday, 19 November 2010
THE LAST KEY KEPPER
PART 2
“Kurang ngajar dia. Akan ku adukan pada ibuku jika aku sudah kembali ke Greenwich. Igrove Shimoff. Akan ku ingat namanya, agar bantuan ke Essen dihentikan.” Gerutu alan saat dia diperlakukan tidak pantas di jerman bagian barat itu. Pada kenyataannya, Alan sengaja menempuh jalan yang panjang untuk mencapai mesir, selain untuk menambah ilmu pengetahuan, juga untuk mempopulerkan dirinya. Agar keberadaanya diakui. Bukan karna perawakannya, tapi kemampuannya sebagai Davis, malah hal itu yang membuat ia menggerutu sepanjang jalan, membuat ke-Davis-annya makin diragukan. Tentu saja perjalanan tidak selalu mulus, bagaimanapun tentu ada segelintir orang yang tak akan peduli bahwa kau adalah seorang raja atau Davis sekali pun. kadang alan dan pengawal-pengawalnya bertemu perampok di sepanjang jalan Hungaria sehingga alan kehilangan dua perkamen pembuktian atas dirinya. Melewati tebing atau jurang, atau hutan yang gelap gulita dan penuh bayang-bayang. Dan yang paling parah adalah saat-saat mereka bertengkar dalam menentukan rute. Argument-argument seperti “jalan itu berbatu,”, “banyak rampok”, “hutannya terlalu gelap dan menyeramkan,” akan disusul oleh sanggahan-sanggahan lain seperti “tahu apa tuan ini. Aku kenal jalan ini,” , “oh diamlah.” , “dasar keras kepala!” dan banyak lagi percekcokkan antara tuan dan pengawal. Tentu saja sesama pengawal tidak bercekcok. Karna mereka tahu jelas medannya, sedangkan alan tidak. Namun dalam hal ini, Tentu alan yang selalu menang. Karna Dia paling keras kepala dan dia adalah tuannya. “baiklah, kita beristirahat di Budapest, belanja di Baucau. Lalu ke Herzegovina sebentar. Aku ingin lihat daerah itu. Katanya sangat menarik. Lalu kita lewati Tirana menuju volos dan berkunjung ke Athena.” Kata Alan akhirnya disusul erangan kesal Burns, lelaki jangkung dan gagah, pengawal alan yang tahu pasti medan darat. “itu berputar-putar tuan. Jangan ke baucau. Ini bukan piknik, jangan ke Her, apa itu? Ah pokoknya yang itu. Jangan kesitu.” Kata Chang, lelaki jangkung dan pintar menyusun strategi peperangan, pengawal satunya lagi yang lebih mengetahui medan lautan. “kau tahu apa? Sudah ikuti saja aku.” Kata alan ketus kepada Chang seraya menaiki kudanya setelah bersusah payah mengumpulkan tenaga untuk melompat.
alan merupakan pelompat yang mahir. Jadi dengan lompatan dia bisa menaiki kudanya atau mencapai tempat yang tingginya sekitar satu setengah meter.
lalu perjalanan itu dimulai lagi dengan kesunyian dan muka kecut di masing-masing orang. Alan memimpin di depan. Sesekali ia menengok ke belakang, takut para pengawalnya diam-diam meninggalkan dia. Namun yang dilihatnya hanya muka-muka masam Burns dan chang juga kuda-kuda mereka yang keletihan. Akhirnya mereka sampai di Budapest. alan sempat terbuai untuk tinggal di sana.
“oh. Lihat itu burns!” seru alan pada pengawalnya yang berambut coklat itu, saat melihat keindahan kota. Semua orang terlihat santai dan ramah. Tidak seperti di inggris tempat alan tinggal. Semua orang terlihat tegang dan saling curiga. Maklum saat itu sedang marak-maraknya akan gossip perebutan kekuasaan dan keluarga davis dicurigai mengumpulkan warga untuk menentang ratu. Hal itu dikarenakan keluarga davis lebih dicintai daripada keluarga kerajaan itu sendiri.
“sudahlah tuan. Kita tak punya cukup uang. Ayo cepat pergi.” Seru Chang tak menyembunyikan kekesalannya terhadap alan.
“tapi di sini barang-barang dijual setengah harga. Oh lihat itu!” jawab alan tak menghiraukan chang seraya berlari ke pedagang kaki lima.
“apa ini?” tanya alan pada seorang pedagang.
“ini lampu minyak, tuan. Sangat indah. Terbuat dari emas dan kuningan. Sangat langka. Kau pasti bangga jika memilikinya.” Jawab si pedagang byang kepalanya dililit sorban berwarna ungu.
“berapa harganya?” tanya alan yang mulai tergiur, “berikan diskon padaku. Aku seorang davis.” Tambah alan sambil berbisik-bisik. “sebenarnya lima puluh keping emas pun tak akan cukup untuk membeli ini tuan. Tapi karna kau adalah seorang davis. Harganya aku turunkan jadi tiga puluh. Bagaimana?” jawab si pedagang dengan muka licik. “apa! Semahal itu! Dasar kau pedagang tukang tipu! Siapa namamu? Akan ku adukan kau pada kepala pemerintahan. Dengan tuntutan telah Memeras orang asing!” teriak alan sampai mata orang-orang di sana tertuju pada alan dan si pedagang, “30 keping perak!” paksa alan yang ternyata masih bersikukuh ingin mendapatkan lampu minyak itu.
“kau pun telah menipuku! Bilang kau seorang davis untuk mendapat harga yang murah! Harusnya kau berkaca!” balas sang pedagang. Alan akhirnya berhenti bicara setelah burns berbisik,
THE LAST KEY KEPPER
PART 1
1.Davis
Alan Davis membenamkan wajahnya ke air untuk menghilangkan rasa kantuk sekaligus untuk menyegarkan matanya yang selama lima hari ini dipaksa untuk membaca. Bukan salahnya jika ia bertemperamental tinggi, bermuka agak tua dan sedikit pendek. Atau mungkin hampir ‘kerdil’. Yang menjadi masalahnya adalah saat nama ‘Davis’-nya dipertanyakan. Keluarga Davis terkenal akan paras yang elok, sikap yang anggun dan tubuh yang tinggi semampai. “Apakah aku ini anakmu, ibu?” itulah kata-kata favorit yang akan Alan ucapkan di setiap akhir pesta. Ia sudah muak diinterograsi tentang identitasnya sebagai seorang Davis, bahkan sampai umurnya yang ke tiga puluh ini.
Alan menyeka wajahnya dengan handuk dan kembali mengenyakkan dirinya ke sofa empuk tempat favoritnya untuk membaca. Sekali-kali diliriknya perkamen-perkamen kuno yang bertebaran di meja bacanya. Dikejap-kejapkan matanya untuk menghilangkan kantuk yang selama ini telah menyelimutinya. Ia mengambil salah satu perkamen yang telah menguning dan dimakan rayap di sisi-sisinya. Berulang kali ia membaca isi perkamen itu dengan wajah tak percaya. Namun justru isi dari perkamen itulah yang membuatnya memutuskan untuk melakukan perjalanan dari inggris ke kairo.
Thursday, 18 November 2010
Tired
Sunday, 17 October 2010
Create An Unforgetable first Sight
